MBS DAN PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN ( bag 1 )
Apakah mutu itu? Apakah ada jaminan bahwa penerapan pembaharuan dalam pola manajemen (pengelolaan) sekolah (MBS) dengan peningkatan mutu sekolah atau pendidikan?. Pertanyaan tersebut juga dikemukakan oleh Abu-Duhou (1999), Wohlstetter & Mohrman (1996). Beberapa penelitian dan kajian MBS di beberapa negara menunjukkan bahwa MBS tidak serta merta menjamin peningkatan mutu pendidikan, terutama apabila MBS dilaksanakan secara sempit atau dilaksanakan secara parsial. Namun demikian, bukan berarti MBS tidak ada kaitannya sama sekali dengan peningkatan mutu pendidikan.
Untuk menjawab sejauh mana keterkaitan antara MBS dan mutu pendidikan, perlu ada pemahaman bersama tentang konsep mutu pendidikan, karena persepsi tentang mutu berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Sejauh mana konsep tentang mutu dan strategi peningkatan mutu dapat diaplikasikan dalam dunia pendidikan dalam kerangka MBS.
Mutu, dalam pengertian umum dapat diartikan sebagai derajat keunggulan suatu produk atau hasil kerja, baik berupa barang atau jasa. Mutu dapat bersifat abstrak, namun dapat dirasakan, baik itu berupa barang atau jasa. Oleh karena itu makna mutu akan berbeda antara orang yang satu dengan orang lainnya, tergantung dari sudut pandang dan kebutuhannya (Sallis, 1993). Dalam konteks pendidikan banyak pendapat tentang mutu. Namun demikian, kajian tentang mutu dalam pendidikan dapat ditinjau dari aspek input, proses, output dan dampak serta manfaat.
Pendidikan yang bermutu mengacu pada berbagai input seperti tenaga pengajar, peralatan, buku, biaya pendidikan, teknologi, dan input-input lainnya yang diperlukan dalam proses pendidikan. Ada pula yang mengaitkan mutu pada proses (pembelajaran), dengan argumen bahwa proses pendidikan (pembelajaran) itu yang paling menentukan kualitas. Jika mutu ingin diraih, maka proses harus diamati dan dijadikan fokus perhatian. Melalui proses, penyelenggara pendidikan dapat mengembangkan pendidikan, metoda, dan teknik-teknik pembelajaran yang dianggap efektif. Orientasi mutu dari aspek output mendasarkan pada hasil pendidikan (pembelajaran) yang ditunjukkan oleh keunggulan akademik dan nonakademik di suatu sekolah
Banyak sekolah yang mulai sadar bahwa antara berbagai input, proses, dan output, perlu diperhatikan secara seimbang. Bahkan untuk menjamin mutu, langkah-langkah sudah dimulai dari misi, tujuan, sasaran, dan target dalam bentuk desain perencanaan yang mantap. Para pendidik harus selalu sadar akan hasil yang akan diperoleh bagi siswa setelah melalui proses pembelajaran tertentu, dan gambaran akan hasil yang ingin dicapai itu pada gilirannya akan memberikan motivasi untuk mengembangkan input dan proses yang sesuai. Bahkan saat ini mutu pendidikan tidak hanya dapat dilihat dari prestasi yang dicapai, tetapi bagaimana prestasi tersebut dapat dibandingkan dengan standar yang ditetapkan, seperti yang tertuang di dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 35 dan PP No. 19 Tahun 2005.
Penetapan standar untuk melihat mutu pendidikan masih banyak yang didasarkan pada keinginan yang kuat dari pengguna (customer) dan pemangku kepentingan (stakeholder) pendidikan. Termasuk pengguna (customer) dan pemangku kepentingan adalah siswa, guru, orang tua pengguna jasa pendidikan, pengguna jasa lulusan yang menuntut kompetensi tertentu sebagai indikator kelayakan bagi yang bersangkutan untuk melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan, atau berbagai peran dalam kehidupan sosial – yang merupakan output pendidikan. Sementara masalah input dan proses dianggap sebagai masalah internal sekolah yang merupakan prerogatif profesi tenaga kependidikan. Sebenarnya, input, proses, dan output tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganya merupakan masalah internal atau eksternal yang akan menentukan mutu pendidikan sekolah.
Dari segi lingkup kompetensi yang harus dicapai begitu luas. Pandangan tentang mutu pun kemudian meliputi berbagai aspek kompetensi. Bukan hanya menyangkut ranah kognitif tetapi juga afektif, psikomotor, dan bahkan spiritual. Mutu tidak hanya terfokus pada pencapaian atau prestasi akademis (academic achievement), tetapi juga bidang-bidang nonakademik, seperti prestasi seni, ketrampilan sosial, keterampilan vokasional, serta penghayatan dan pengamalan spiritual dalam bentuk budi pekerti luhur. Yang sering menjadi masalah adalah bagaimana menilai secara akurat berbagai aspek kompetensi tersebut. Apalagi kalau seluruhnya harus berdasarkan standar nasional. Sementara itu, sebagian ranah kemampuan yang dicapai untuk sebagian relatif sukar mengukurnya. Beberapa jenis kompetensi juga banyak yang lebih bersifat lokal, seperti keterampilan vokasional, keterampilan sosial, serta budi pekerti.
Menurut Sallis (1993), terdapat tiga pengertian konsep mutu. Pertama, mutu sebagai konsep yang absolut (mutlak), kedua, mutu dalam konsep yang relatif, dan ketiga mutu menurut pelanggan.
Dalam pengertian absolut, sesuatu disebut bermutu jika memenuhi standar yang tertinggi dan tidak dapat diungguli, sehingga mutu dianggap sesuatu yang ideal yang tidak dapat dikompromikan, seperti kebaikan, keindahan, kebenaran. Mutu dalam konsep ini menunjukkan keunggulan status dan posisi dengan mutu tinggi (high quality). Jika dikaitkan dengan konteks pendidikan, maka konsep mutu absolut bersifat elit karena hanya sedikit lembaga pendidikan yang dapat memberikan pendidikan dengan high quality kepada siswa, dan sebagian besar siswa tidak dapat menjangkaunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar