Sabtu, 22 Agustus 2009


Alkohol, Bahan Bakar Minyak Masa Depan PDF Print E-mail
Kenaikan BBM yang mencapai rata-rata 150 persen, agaknya menyebabkan masyarakat mulai melirik alternatif energi yang lebih murah. Salah satu bahan bakar yang mulai dirintis pengembangannya secara massal di Indonesia adalah penggunaan alkohol sebagai bahan bakar. Seperti apakah itu dan bagaimana efeknya terhadap lingkungan hidup sekitar kita?
MULAI diliriknya alternatif energi lain oleh masyarakat, seperti penggunaan alkohol sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, merupakan suatu yang positif. Sebab, penggunaan bahan bakar fosil secara kontinu dan dalam kuantitas yang cukup besar, sebenarnya memunculkan paling sedikit dua ancaman serius.

Ancaman tersebut berupa faktor ekonomi karena ketersediaan bahan bakar ini akan habis dalam beberapa dekade mendatang serta bertambah mahalnya bahan bakar tersebut seiring dengan menipisnya stok dan juga faktor lingkungan. Seperti diketahui polusi yang ditimbulkan akibat gas buangan bahan bakar fosil sangat mengganggu lingkungan.

Memang, polusi yang ditimbulkan dari pembakaran bahan bakar fosil ini tidak langsung dirasakan efeknya bagi manusia dan lingkungan. Namun, tidak dapat dimungkiri emisi buangan dari bahan bakar fosil ini memiliki dampak langsung maupun tidak langsung kepada derajat kesehatan manusia.

Polusi langsung yang menyebabkan memburuknya kesehatan manusia dan lingkungan bisa berupa gas-gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan UHC (unburn hydrocarbon), juga unsur metalik seperti timbal (Pb). Sementara itu, polusi tidak langsung mayoritas berupa ledakan jumlah molekul CO2 yang berdampak pada pemanasan global (Global Warming Potential).

Kesadaran terhadap ancaman serius yang dapat ditimbulkan dari penggunaan bahan bakar fosil ini menyebabkan para pakar mengintensifkan berbagai risetnya. Riset-riset ini bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi (energy resources) ataupun pembawa energi (energy carrier) yang lebih terjamin keberlanjutannya (sustainable) dan lebih ramah lingkungan.

Penggunaan alkohol sebagai bahan bakar mulai diteliti dan diimplementasikan di Amerika Serikat (AS) dan Brazil sejak terjadinya krisis bahan bakar fosil di kedua negara tersebut pada tahun 1970-an. Brazil tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki keseriusan tinggi dalam implementasi bahan bakar alkohol untuk keperluan kendaraan bermotor dengan tingkat penggunaan bahan bakar ethanol saat ini mencapai 40 persen secara nasional.

Di AS sendiri, bahan bakar ethanol relatif murah, misalnya saja E85, yang mengandung ethanol 85 persen semakin populer di masyarakat. Selain ethanol, methanol juga tercatat digunakan sebagai bahan bakar alkohol di Rusia. Pemanfaatan ethanol juga sedang gencar dilakukan di Jepang. Bahkan, Kementerian Lingkungan Hidup Jepang telah menargetkan pada tahun 2008 campuran gasolin dengan ethanol 10 persen akan digunakan untuk menggantikan gasolin di seluruh Jepang.

Kementerian yang sama juga meminta produsen otomotif di Jepang untuk membuat kendaraan yang mampu beroperasi dengan bahan bakar campuran tersebut mulai tahun 2003. Tak heran jika kemudian kendaraan buatan Jepang sudah dilengkapi dengan mesin yang mampu menerima bahan bakar campuran ini.

Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Negara Riset dan Teknologi telah menargetkan pembuatan minimal satu pabrik biodiesel dan gasohol (campuran gasolin dan alkohol) pada tahun 2005-2006. Selain itu, ditargetkan juga bahwa penggunaan bioenergy tersebut akan mencapai 30 persen dari pasokan energi nasional pada tahun 2025.

Ethanol bisa digunakan dalam bentuk murni ataupun sebagai campuran untuk bahan bakar gasolin (bensin) maupun hidrogen. Interaksi ethanol dengan hidrogen bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi fuel cell ataupun dalam mesin pembakaran dalam (internal combustion engine) konvensional.

Pada tulisan ini, dibahas secara singkat: (1) dampak penggunaan ethanol pada mesin pembakaran dalam dengan penyalaan busi (spark ignition), dan (2) implementasi bahan bakar ethanol di Brazil -- negara yang secara serius menggunakan bahan bakar ethanol.

Dewasa ini, hampir seluruh mesin pembangkit daya yang digunakan pada kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam. Mesin bensin (otto) dan diesel adalah dua jenis mesin pembakaran dalam yang paling banyak digunakan di dunia.

Mesin diesel, yang memiliki efisiensi lebih tinggi, tumbuh pesat di Eropa. Sedangkan komunitas di AS yang cenderung khawatir pada tingkat polusi sulfur dan UHC pada diesel, lebih memilih mesin bensin. Meski saat ini, mutu solar dan mesin diesel yang digunakan di Eropa sudah semakin baik yang berimplikasi pada rendahnya emisi sulfur dan UHC.

Ethanol yang secara teoretik memiliki angka oktan di atas standar maksimal bensin, cocok diterapkan sebagai substitusi sebagian ataupun keseluruhan pada mesin bensin. Terdapat beberapa karakteristik internal ethanol yang menyebabkan penggunaan ethanol pada mesin Otto lebih baik daripada gasolin.

Ethanol memiliki angka research octane 108.6 dan motor octane 89.7. Angka tersebut (terutama research octane) melampaui nilai maksimal yang mungkin dicapai oleh gasolin (pun setelah ditambahkan aditif tertentu pada gasolin). Sebagai catatan, bensin yang dijual Pertamina memiliki angka research octane 88.

Angka oktan pada bahan bakar mesin Otto menunjukkan kemampuannya menghindari terbakarnya campuran udara-bahan bakar sebelum waktunya (self-ignition). Terbakarnya campuran udara-bahan bakar di dalam mesin Otto sebelum waktunya akan menimbulkan fenomena ketuk (knocking) yang berpotensi menurunkan daya mesin, bahkan bisa menimbulkan kerusakan serius pada komponen mesin.

Selama ini, fenomena ketuk membatasi penggunaan rasio kompresi (perbandingan antara volume silinder terhadap volume sisa) yang tinggi pada mesin bensin. Tingginya angka oktan pada ethanol memungkinkan penggunaan rasio kompresi yang tinggi pada mesin Otto. Korelasi antara efisiensi dengan rasio kompresi berimplikasi pada fakta bahwa mesin Otto berbahan bakar ethanol (sebagian atau seluruhnya) memiliki efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar gasoline.

Dua ancaman serius yang muncul akibat ketergantungan terhadap bahan bakar gasoline, yakni faktor ekonomi (keterbatasan eksplorasi yang berakibat pada suplai, harga, dan fluktuasinya) dan faktor polusi bahan bakar fosil yang tidak ramah lingkungan, menyebabkan kita mesti memikirkan alternatif energi.

Alternatif energi ini haruslah yang lebih terjamin pengadaannya serta ramah terhadap lingkungan. Gasohol adalah salah satu alternatif yang memungkinkan transisi ke arah implementasi energi alternatif berjalan dengan mulus
sumber : www.balipost.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar