Bagaimana air raksa dapat sampai bersarang di dalam tubuh manusia?
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa air raksa yang masuk ke dalam perairan dengan mudah terikat dengan unsur kimia klor pada air laut. Ikatan dengan ion klor membentuk merkuri anorganik (HgCl) dengan mudah masuk ke dalam plankton dan dapat berpindah ke biota laut lain, kemudian mengalami perubahan oleh mikro organisme menjadi merkuri organik dalam sediment di dasar laut. Sifat merkuri organik yang dapat terakumulasi di dalam tubuh makhluk hidup itulah yang membawa penyakit. Dampak yang terlihat seperti pada kasus Minamata dapat terjadi apabila dosis efektif dalam tubuh manusia sudah tercapai.
Mengacu pada standar International Progamme on Chemical Safety (IPCS) dan PBB, bahwa batas ambang terjadinya gejala penyakit minamata pada manusia adalah 200 – 500 g/l (pbb) konsentrasi total air raksa dalam darah dan 50 – 125 g/g (ppm) konsentrasi total air raksa dalam rambut.Dampak penyakit minamata adalah indra perasa dan pencium tidak berfungsi, penderita mudah lelah dan sering sakit kepala. Pada tingkat yang lebih berat penderita tidak lagi dapat mengendalikan gerakan tangan dan kaki, daya pandang menyempit, tuli, dan sulit berbicara. Lebih gawat lagi dapat merusak kode genetika, sehingga bayi-bayi yang dilahirkan dari penderita minamata akan cacat bawaan.
Dampak air raksa yang lebih kejam adalah arsenic dan sianida yang menimbulkan efek toksologi. Orang yang keracunan arsenik kronik akan mengalami mual dan muntah, penurunan produksi sel darah merah dan putih, gangguan pada irama jantung, kerusakan pada pembuluh darah, rasa nyeri seperti tertusuk duri pada tangan dan kaki, warna kulit gelap, kanker (kulit, paru-paru, ginjal) dan kontak kulit mengekibatkan kemerahan dan pembengkaan. Pada tahap akut, penderita sakit tenggorokan dan iritasi paru-paru yang akhirnya menghadapi kematian. Sedangkan orang yang keracunan sianida kronik, mengakibatkan penderita kesulitan bernafas, nyeri jantung, sakit kepala, gangguan peredaran darah. Kemudian rasa lemah pada jari kaki dan tangan, kesulitan berjalan, gangguan penglihatan dan pendengaran, dan kontak kulit mengakibatkan iritasi, gatal-gatal. Penderita akut akan mengalami gangguan otak, jantung, koma, pernafasan berat dan tersengal-sengal, kejang, kehilangan kesadaran, dan akhirnya meninggal. Berbagai kasus pencemaran lingkungan yang merenggut nyawa manusia sebagai akibat limbah beracun dari industri mengingatkan kita pada peristiwa tragedy Love Canal di Amerika Serikat tahun 1976 atau tragedi Bhopal di India pada tahun 1984.
Tragedi minamata di Jepang merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia agar tidak memperlakukan lingkungan seenaknya demi investasi, apalagi sekadar mengharapkan keuntungan bagi kalangan elite. Dari tragedi minamata kita dapat memetik pelajaran bahwa manusia tidak hanya pelaku kejahatan terhadap alam, tetapi sekaligus menjadikan manusia sebagai korbannya. Oleh karena itu seharusnya perusahaan-perusahaan memperhatikan cara membuang limbah dari produknya. Mereka itu seharusnya memikirkan ketentuan trilogi dan melakukannya secara ramah lingkungan, yaitu produksi, penggunaan, danpembuangan. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, pertumbuhan ekonomi di berbagai negara mengakibatkan berbagai pemborosan sumberdaya alam yang mengakibatkan kemerosotan kualitas lingkungan. Akibatnya biaya yang seharusnya dipikul oleh suatu kegiatan tertentu atau institusi tertentu, ditimpakan kepada pihak lain yang tidak mengambil keuntungan sedikitpun, tetapi justru harus menerima dampak negatifnya, seperti pembangunan pabrik kimia, otomotif, tekstil, dan sebagainya yang merupakan milik umum. Sebagai contoh, pembuangan limbah pabrik ke sungai, akibatnya harus dipikul oleh masyarakat umum terutama yang mempunyai kepentingan pada sungai tersebut. Berbagai emisi (limbah berupa gas) telah mencemari udara yang menjadi milik umum, padahal ini merupakan bagian vital dari kehidupan.
Semua hal tersebut di atas tidak lain sebagai akibat adanya gejala krisis kemunduran kearifan manusia dalam memerlakukan lingkungan. Oleh karena itu baik secara lokal maupun global lingkungan hidup harus menanggung barbagai kemerosotan kualitas sumber daya alam maupun lingkungan.
Mengacu pada standar International Progamme on Chemical Safety (IPCS) dan PBB, bahwa batas ambang terjadinya gejala penyakit minamata pada manusia adalah 200 – 500 g/l (pbb) konsentrasi total air raksa dalam darah dan 50 – 125 g/g (ppm) konsentrasi total air raksa dalam rambut.Dampak penyakit minamata adalah indra perasa dan pencium tidak berfungsi, penderita mudah lelah dan sering sakit kepala. Pada tingkat yang lebih berat penderita tidak lagi dapat mengendalikan gerakan tangan dan kaki, daya pandang menyempit, tuli, dan sulit berbicara. Lebih gawat lagi dapat merusak kode genetika, sehingga bayi-bayi yang dilahirkan dari penderita minamata akan cacat bawaan.
Dampak air raksa yang lebih kejam adalah arsenic dan sianida yang menimbulkan efek toksologi. Orang yang keracunan arsenik kronik akan mengalami mual dan muntah, penurunan produksi sel darah merah dan putih, gangguan pada irama jantung, kerusakan pada pembuluh darah, rasa nyeri seperti tertusuk duri pada tangan dan kaki, warna kulit gelap, kanker (kulit, paru-paru, ginjal) dan kontak kulit mengekibatkan kemerahan dan pembengkaan. Pada tahap akut, penderita sakit tenggorokan dan iritasi paru-paru yang akhirnya menghadapi kematian. Sedangkan orang yang keracunan sianida kronik, mengakibatkan penderita kesulitan bernafas, nyeri jantung, sakit kepala, gangguan peredaran darah. Kemudian rasa lemah pada jari kaki dan tangan, kesulitan berjalan, gangguan penglihatan dan pendengaran, dan kontak kulit mengakibatkan iritasi, gatal-gatal. Penderita akut akan mengalami gangguan otak, jantung, koma, pernafasan berat dan tersengal-sengal, kejang, kehilangan kesadaran, dan akhirnya meninggal. Berbagai kasus pencemaran lingkungan yang merenggut nyawa manusia sebagai akibat limbah beracun dari industri mengingatkan kita pada peristiwa tragedy Love Canal di Amerika Serikat tahun 1976 atau tragedi Bhopal di India pada tahun 1984.
Tragedi minamata di Jepang merupakan pelajaran berharga bagi Indonesia agar tidak memperlakukan lingkungan seenaknya demi investasi, apalagi sekadar mengharapkan keuntungan bagi kalangan elite. Dari tragedi minamata kita dapat memetik pelajaran bahwa manusia tidak hanya pelaku kejahatan terhadap alam, tetapi sekaligus menjadikan manusia sebagai korbannya. Oleh karena itu seharusnya perusahaan-perusahaan memperhatikan cara membuang limbah dari produknya. Mereka itu seharusnya memikirkan ketentuan trilogi dan melakukannya secara ramah lingkungan, yaitu produksi, penggunaan, danpembuangan. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, pertumbuhan ekonomi di berbagai negara mengakibatkan berbagai pemborosan sumberdaya alam yang mengakibatkan kemerosotan kualitas lingkungan. Akibatnya biaya yang seharusnya dipikul oleh suatu kegiatan tertentu atau institusi tertentu, ditimpakan kepada pihak lain yang tidak mengambil keuntungan sedikitpun, tetapi justru harus menerima dampak negatifnya, seperti pembangunan pabrik kimia, otomotif, tekstil, dan sebagainya yang merupakan milik umum. Sebagai contoh, pembuangan limbah pabrik ke sungai, akibatnya harus dipikul oleh masyarakat umum terutama yang mempunyai kepentingan pada sungai tersebut. Berbagai emisi (limbah berupa gas) telah mencemari udara yang menjadi milik umum, padahal ini merupakan bagian vital dari kehidupan.
Semua hal tersebut di atas tidak lain sebagai akibat adanya gejala krisis kemunduran kearifan manusia dalam memerlakukan lingkungan. Oleh karena itu baik secara lokal maupun global lingkungan hidup harus menanggung barbagai kemerosotan kualitas sumber daya alam maupun lingkungan.
Sumber : pengembangan ips
Tidak ada komentar:
Posting Komentar